Tinjauan Syariat tentang Ngidam




Penjelasan Syaikh Muhammad Ali Farkus
 
Sebagaimana yang disebutkan al-Jauhari dalam kitab as-Shihah (5:2049), Ibn Atsir dalam an-Nihayah (5:162), dan Ibn Faris dalam Maqayis al-Lughah (6:93) serta beberapa pakar bahasa lainnya, ngidam (al-wahmu) sudah dikenal secara bahasa, yaitu sesuatu yang diinginkan oleh wanita yang sedang hamil.
 
Akan tetapi, anggapan yang banyak tersebar di masyarakat kita saat ini bahwa wanita hamil yang menginginkan sesuatu, jika tidak dipenuhi keinginannya maka nantinya akan keluar bentuk tertentu dari badan anak yang dilahirkan sesuai dengan yang diinginkan ibunya, (atau anak ini akan menjadi anak yang kurang normal, karena suka mengeluarkan liur).

Terkait keyakinan ini, saya belum mengetahui adanya keterangan apapun dalam syariat tentang hakekat ‘bentuk sesuatu yang keluar dari badan bayi’ sebagaimana yang disampaikan. Demikian pula saya tidak tahu kebenaran anggapan ini melalui informasi yang sampai kepada saya.
 
Hanya saja, hal ini terkenal di kalangan para wanita, apabila kita menerima anggapan ini, bahwa jika tidak memenuhi keinginan wanita itu akan menimbulkan dampak buruk maka kita wajib mencegah terjadinya dampak buruk semacam ini, dengan berusaha mewujudkan apa yang diinginkan wanita hamil. Ini dalam rangka mengamalkan kaidah: ‘menolak dampak buruk itu lebih diutamakan dari pada mewujudkan satu kemaslahatan.’
 
Akan tetapi, jika hal ini tidak memberikan dampak buruk maka tidak boleh kita nyatakan hukumnya wajib untuk memenuhi keinginan wanita yang ngidam, selain sebatas untuk mewujudkan rasa kasih sayang antar-suami istri.

Karena jika hal ini wajib, tentu akan ada dalil yang menjelaskannya dan tentu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan memberikan penjelasan yang jelas karena keterangan semacam ini dibutuhkan dan termasuk perkara yang tersebar di masyarakat.

Sementara segala sesuatu yang menimbulkan dampak buruk kepada hamba, pasti Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengingatkannya, karena beliau adalah orang yang telah menunaikan amanah dan menyampaikan risalah. (40 Sualan fi Ahkam al-Maulud, hal. 102 – 103).

Penjelasan Syaikh Munajid
 
Pertama, ‘ngidam’ yang dialami oleh wanita yang sedang hamil, terutama di awal kehamilan merupakan fenomena yang diakui secara kedokteran sebagai salah satu dampak kehamilan. Umumnya wanita yang hamil memiliki tabiat yang aneh di masa awal kehamilannya.

Ada yang begitu suka dengan suami dan bau suami, dan ada yang sebaliknya. Ada yang suka makan es, bahkan ada yang suka makan arang. Dan kondisi psikologis yang aneh lainnya, yang tidak mungkin bisa disebutkan semuanya.

Karena itu, selayaknya anggota keluarga memperhatikan keadaan orang hamil yang sedang ngidam, dengan berusaha meminimalisir segala kemungkinan yang akan menimbulkan masalah yang lebih besar.
 
Kasus ngidam yang terjadi pada wanita hamil ini telah membingungkan ahli medis. Ada berbagai macam komentar dan pendapat yang mereka sampaikan. Mereka kesulitan memahami fenomena semacam ini. Ada sebagian pakar kedokteran yang menyebutkan bahwa diantara terapi yang mungkin bisa dilakukan adalah menghindari terlalu banyak berpikir atau menginginkan sesuatu.
 
Apapun itu, ngidam adalah perkara yang hakiki, dan tidak bisa diingkari hal ini terjadi pada kehidupan wanita hamil, juga tidak dinafikan secara medis. Karena itu, bagi anggota keluarga hendaknya memberikan penanganan yang sesuai untuk wanita hamil, dengan catatan, jangan sampai mengizinkan untuk makan makanan yang haram atau yang membahayakan, seperti arang, rambut. Kemudian bisa diarahkan untuk mengkonsumsi makanan yang lain, atau diarahkan untuk bisa dekat dengan suaminya dan anak-anaknya.

Ada begitu banyak kejadian perceraian di awal kehamilan, sebabnya adalah suami tidak memahami kondisi istrinya yang sedang ngidam atau tidak mampu memberikan penanganan yang sesuai bagi wanita ngidam.
 
Kedua, hal terbaik yang bisa kami nasehatkan untuk dijadikan terapi kondisi psikologis bagi wanita ngidam adalah Al Quran. Allah menjadikan Al Quran sebagai petunjuk dan obat. “Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi obat dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al-Isra’: 82)
 
Syaikh as-Sinqithi mengatakan:
 
Firman Allah dalam ayat ini : ‘menjadi obat’, mencakup semua fungsi obat, baik bagi penyakit hati, seperti keraguan, kemunafikan, dan yang lainnya, maupun untuk badan, dalam bentuk ruqyah. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat yang shahih tentang sahabat yang meruqyah orang yang tersengat binatang berbisa dengan membacakan surat Al Fatihah. (Adhwaul Bayan, 3: 253)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.